Hidup itu pilihan, aku dan kamu mau jadi lebih baik atau
tidakpun ya sebenarnya kembali ke diri kita. Bagiku, tak elok rasanya kalau kita
punya pilihan dan kita tidak memilih menjadi baik. Kata kita, kita sudah cintai
diri tetapi pada nyatanya kita tidak benar-benar berlaku bijak. Kata Cinta
menjadi tameng yang tebal sehingga kebijaksanaan di nomor sekian kan.
Diri Kita Sendiri. Menelaah diri dari pemikiran kita,
rohani, dan jasmani kita. Dari yang ku baca dan setelah aku dalami lebih dalam.
Memberi makan otak, memenuhi kebutuhan rohani, dan mengolah fisik adalah satu kesatuan yang luar biasa perlu untuk dipenuhi. Tetapi please jangan
setengah-setengah, apalagi hanya untuk kebutuhan konten semata. Aku banyak
menemui fenomena unik, entah apa yang harus aku sebutkan untuk ini. Paling aku
cuman “hm... yha ni orang :’)”. Ikut sekali kegiatan majelis mingguan atau
olahraga, langsung di dokumentasi dan
tak lupa klik tombol posting di sosial media dengan rangkaian kata sebagai
pemanis-nya. Rek, berhentilah memenuhi permintaan dunia atas citramu. Kamu
tidak perlu membuktikan apapun, biar waktu dan tindakan mu yang berteriak se-kencangnya dan se-kuatnya.
Yakinlah semesta tidak pernah tutup mata dan telinga atas manusia-manusia
didalamnya.
Diri kita dan Mereka. Berkumpul dalam satu lingkungan
menjadi satu kesatuan dalam hubungan. Menyoroti dunia perpacaran.. aku tidak
menyalahkan untuk konsep ini meskipun aku sudah berhenti mengikat hubungan
dengan konsep ini. Sedikit sharing waktu itu aku tertampar dengan kalimat,
“kalau kamu mencintai orang lain (diluar tali keluarga) melebihi diri kamu, itu
namanya nafsu”. Ya kan mau gimana pun, ke teman ke sahabat ke pacar akan
berbeda perlakuannya karena otak kita ter-setting untuk sedikit membedakan tiap
reaction yang keluar dari dalam diri kita atas mereka. Sehingga terkadang kita
jadi kurang mengapresiasi diri, taetapi bukan berarti setiap apa yang kita
lakukan selalu egois dalam hidup kita demi mereka. Tidak semua tetapi pasti ada
dan kita pasti pernah lakukan hal yang sebenarnya sedikit di luar track kita
tetapi tetap kita lakukan karena tameng c.i.n.t.a. Diri kita dan mereka,
khususnya yang tali hubungannya cukup dekat. Cinta ada karena perasaan
mengatakan ini nyaman akibat dari rasa “open” yang hadir. Iya, se-open minded
itu. For me myself, yang namanya open minded itu bukan “kebarat-baratan” atau
“gamasalah kalo agnostik”. Tetapi lebih ke bijaksana dalam menghargai setiap
yang ada dalam diri, apapun itu. Aku sangat menyayangkan kalo kita mengaku
“open” tetapi sewaktu ada orang di sekitar ke yang pengen tobat, atau menjadi
religius, bahkan mau berobat dengan metode kepercayaan atau tradisional malah
dikatain “apaantuh”, “itutuh gabener”. Seriusan itu ga ada bijaknya. Ego
tingkat tinggi. Sotoy luar biasa. Kalau benar-benar cinta sesama ya kasihlah
rasionalisasi bukannya blaming dan ngajak orang lain blaming. Stop it!
Pikirkan baik-baik sudah terjawabkah pertanyaan judul diatas, wes lakuin apa aja sih buar diri kamu sendiri sama orang sekitar. sudah cinta dengan bijak belum atas diri kita sendiri dan diri kita kepada mereka?
dari aku yang banyak kurangnya dan bukan siapa-siapa tetapi tak henti ingin belajar.
Pikirkan baik-baik sudah terjawabkah pertanyaan judul diatas, wes lakuin apa aja sih buar diri kamu sendiri sama orang sekitar. sudah cinta dengan bijak belum atas diri kita sendiri dan diri kita kepada mereka?
dari aku yang banyak kurangnya dan bukan siapa-siapa tetapi tak henti ingin belajar.
Rantau. 11 Desember 2019
Komentar
Posting Komentar